Oleh: Suriadi
Nasionalisme berasal dari kata Nasional yang berati Kebangsaan dan Isme berati Paham, jadi Nasionalisme ialah paham cinta kebangsaan. Sedangkan secara istilah, Nasionalisme ialah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta: Balai Pustaka, Cet, 1990).
Paham Nasionalisme menurut Emmerson pertama sekali muncul di Eropa. Sedangkan perluasan untuk daerah-daerah lain diluar Eropa merupakan efek dari ekspansi peradaban Eropa Barat. Namun sebagian tokoh ada juga yang berpendapat bahwa Nasionalisme berasal dari kalangan menengah inggris, mereka tergabung dalam suatuu komunitas puritan dan kemudian lewat John Locke menyebar ke Amerika Utara dan Prancis yang ada di Eropa. Disamping itu Ada juga yang berpendapat bahwa nasionalisme lahir akibat dari revolusi Prancis pada abad ke 19 yang pada saat itu orang mulai berfikir tentang nasip suatu bangsa (Muhammad Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, Cet 2, 1997).
Nasionalisme merupaka cara yang dianggap oleh tokoh-tokoh di dunia sebagai jalan terbaik untuk mempersatukan masyarakat dalam suatu bangsa untuk mencapai tujuan bersama. karena di dalam semangat nasionalisme terdapat suatu kekompakan, persatuan dan kesatuan. Bahkan Indonesia sekalipun kalau ditarik benang merah historisnya menggunakan simbol Bhineka Tunggal Ika sebagai cara untuk merpersatuakan masyarakat yang terdiri dari berbagai macam etnis atau suku yang terdapat di Indonesia untuk mencapai sebuah kemerdekaan dari tangan penjajah kolonial. Nasionalisme merupakan suatu cara yang bijak dalam mempersatukan masyarakat yang pluralisme.
Namun dari itu, untuk menciptakan nasionalisme dikalangan masyarakat yang sifatnya plural, tidak semudah bagaikan kita membalik telapak tangan. Setiap orang harus sadar bahwa setiap suku memiliki budaya yang berbeda dan itu adalah keniscayaan yang tidak bisa dibantahkan karena budaya tersebut merupakan jati diri yang membedakan ciri khas suatu daerah dengan daerah yang lain. Akan tetapi semua itu membutuhkan pemahaman dan pengorbanan untuk meleburkan jati dirinya yang berbeda-beda itu menjadi satu agar tujuan bersama dapat diraih demi kepentingan bangsa yang berdaulat dan masa depan anak cucu.
Kontek Aceh
Kerajaan Aceh lahir pada tahun 1514 M dengan rajanya yang pertama bernama Ali Muqhayat Syah. Kerajaan Aceh merupakan penggabungan dari beberapa kerajaan seperti Pasai, Pedir, Daya, Lamuri dan Darussalam. dalam berbagai literatur sejarah, sistim yang dibangun kerajaan Aceh mengganut sistim monarki dan berlandaskan hukum Islam. Sistem kepemimpinan dalam kerajaan Aceh selalu bersifat turun-temurun, proses tersebut terus berlangsung hingga kerajaan Aceh mengalami masa kehancuran pada tahun 1903.
Memang secara de facto dan de jure tidak pernah ada dalam literatur sejarah yang menyebutkan bahwa Aceh adalah kerajaan pertama yang mempelopori semangat nasionalisme di dunia khususnya dan di Nusantara pada umumnya. Akan tetapi menurut hemat penulis bahwa Aceh adalah daerah pertama yang semestinya diberi gelar sebagai pelopor yang merumuskan konsep nasionalisme. Hal ini dapat dipahami ketika kerajaan Aceh mendapat tekanan dari Portugis pada abad ke 16 M yang ingin menjadikan Nusantara dan Malaka sebagai daerah jajahanya. Untuk menyelamatkan kerajaan-kerajaan kecil yang bertetangga dengan kerajaan Aceh, seperti kerajaan Pedir, kerajaan Pasai dan Daya maka sultan Aceh yaitu Ali Muqhayatsyah mengajak kosolidasi kepada raja yang bersangkutan tersebut untuk bergabung dibawah sutu payung serta bernaung dibawah kerajaan Aceh Darussalam. Hal tersebut untuk menjalin suatu kekuatan dan memperjuangkan misi bersama dalam rangka mengusir musuh bubuyutan yang ketika itu ingin mengeruk hasil kekayaan alam yang ada di daerah Aceh.
Dengan melihat devinisi nasionalisme diatas, maka tidak berlebihan jikalau Aceh disebut sebagai kerajaan yang pertama sekali menjunjung tinggi nasionalisme. Bahkan dari berbagai peperangan yang berlalu di Aceh, seperti peperangan melawan Portugis (1514), Belanda (1873-1903), pembrontakan DI/TII (1953-1962) serta pemberontakan GAM (1976-2005) Aceh selalu menggunakan semangat nasionalisme sebagai alat pemersatu dalam menggalang kekuatan untuk mewujudkan suatu tujuan bersama. Para pejuang aceh yang terdiri dari berbagai macam kalangan ada yag berpropesi sebagai petani, nelayan, intektual dan ulama, mereka bagaikan organ tubuh yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. layaknya tubuh manusia, satu anggota yang tersakiti maka anggota tubuh yang lain akan turut merasakanya. Begitu juga dengan kekompakan yang mereka jalin dalam melakukan pergerakan untuk memperjuangkan Aceh. Mereka tidak pernah memandang perbedaan meskipun terdiri dari berbagai latar belakang tempat asal dan suku. Ada yang dari suku gayo, suku alas, suku jame, tamiang, dan sebagainya. mereka menjadikan keberagaman suku tersebut sebagai suatu keindahan dalam rangka mengsukseskan perjuangan mereka. Atas kekompakan dan semangat nasionalisme yang mereka jalin inilah Portugis merasa segan apabila berhadapan dengan Aceh, Belanda merasa takut dan berfikir panjang untuk menyerang Aceh, bahkan seorang serjana Belanda yang bernama R.A Kern dengan karyanya Aceh Moorden menyebutkan “Aceh gila” (Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah Dalam Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Khazanah Pustaka Indonesia, 2002). Yang maksudnya bahwa orang Aceh sulit untuk ditaklukkan. Bahkan pemerintah Indonesia sekalipun turut memikirkan hal yang sama.
Dalam kontek hari ini yang sudah terbebas dari penjajahan baik oleh penjajah Eropa maupun pemerintah pusat, Aceh memiliki tiga belas suku yaitu suku Aceh, Aneuk Jamee, Singkil, Devayan, Gayo. Alas, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, Kluet, Tamiang dan Nias. Serta memiliki empat belas bahasa yaitu Aceh, Aneuk Jamee, Singkil, Devayan, Gayo. Alas, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, Kluet, Tamiang, Nias dan Indonesia. Namun bahasa yang dianggap resmi dan diakui sebagai bahasa nasional adalah bahasa Indonesia. Meskipun sudah memiliki status otonomi daerah, akan tetapi belum pernah ada deklarasi yang mengharuskan bahwa bahasa Aceh adalah bahasa wajib bagi seluruh masyarakat yang ada di Aceh. Dalam hal bahasa ini, pemerintah Aceh sangat menyadari akan kemajemukan suku yang ada di Aceh sehingga dengan kesadaran tersebut, memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan ini merupakan pilihan yang bijak dan sangat arif.
Kita patut berbangga dengan kondisi Aceh yang majmuk, namun kemajemukan juga sangat rawan terjadi pertikaian, bahkan peristiwa Sara, Poso dan lain-lain di berbagai daerah itu dipicu oleh kondisi kemajemukan. Tidak menutup kemungkinan peristiwa ini akan terjadi di Aceh. Kita berharap agar setiap petinggi yang ada di Aceh baik itu eksekutif maupun legeslatif harus memahami kondisi budaya ini dengan serius. Bila tidak maka akan dapat merusak ketahanan nasionalisme yang selama ini telah dibangun oleh indatu (nenek moyang) kita dengan keringat dan darah. Untuk menjaga perdamaian Aceh sebaiknya masyarakat biasa, legeslatif, dan eksekutif harus memahami betul akan kondisi budaya tersebut. Kedamaian Aceh akan terwujud bukan dari deskriminasi tetapi toleransi dengan menghargai berbagai macam suku.
Sekum Himmpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (HMJ-ASK) Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry. Dan peneliti Bidang Sejarah LSM Nagan Initiative
Cp. 085260230020