Minggu, 03 April 2011

SECUIL TENTANG KITA, NEGARA DAN ISLAM

Sebuah Renungan Dan  Kegelisahan  Anak Manusia
oleh "does ahmad"


Sering kita membaca, mendengar, memikirkan dan membicarakan tentang bagaimana konsep hidup yang baik bagi masyarakat serta harus diterapkan oleh sebuah negara. Kita hanya menuntut dan terus menuntut kepada sebuah rezim untuk mensejahterakan rakyat. Sering kita mengatakan "seharusnya pemerintah melakukan A, B C sampai Z" untuk mensejahterakan rakyatnya. Namun, solusi-solusi yang baik itu tidak pernah mendapatkan dukungan penuh dari setiap individu yang menyandang predikat "anak bangsa" atau juga "abdi negara".

Jumat, 11 Maret 2011

NASIONALISME

Oleh: Suriadi


Nasionalisme berasal dari kata Nasional yang berati Kebangsaan dan Isme berati Paham, jadi Nasionalisme ialah paham cinta kebangsaan. Sedangkan secara istilah, Nasionalisme ialah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta: Balai Pustaka, Cet, 1990).
Paham Nasionalisme menurut Emmerson pertama sekali muncul di Eropa. Sedangkan perluasan untuk daerah-daerah lain diluar Eropa merupakan efek dari ekspansi peradaban Eropa Barat. Namun sebagian tokoh ada juga yang berpendapat bahwa Nasionalisme berasal dari kalangan menengah inggris, mereka tergabung dalam suatuu komunitas puritan dan kemudian lewat John Locke menyebar ke Amerika Utara dan Prancis yang ada di Eropa. Disamping itu Ada juga yang berpendapat bahwa nasionalisme lahir akibat dari revolusi Prancis pada abad ke 19 yang pada saat itu orang mulai berfikir tentang nasip suatu bangsa (Muhammad Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, Cet 2, 1997).
Nasionalisme merupaka cara yang dianggap oleh tokoh-tokoh di dunia sebagai jalan terbaik untuk mempersatukan masyarakat dalam suatu bangsa untuk mencapai tujuan bersama. karena di dalam semangat nasionalisme terdapat suatu kekompakan, persatuan dan kesatuan. Bahkan Indonesia sekalipun kalau ditarik benang merah historisnya menggunakan simbol Bhineka Tunggal Ika sebagai cara untuk merpersatuakan masyarakat yang terdiri dari berbagai macam etnis atau suku yang terdapat di Indonesia untuk mencapai sebuah kemerdekaan dari tangan penjajah kolonial. Nasionalisme merupakan suatu cara yang bijak dalam mempersatukan masyarakat  yang pluralisme.
Namun dari itu, untuk menciptakan nasionalisme dikalangan masyarakat yang sifatnya plural, tidak semudah bagaikan kita membalik telapak tangan. Setiap orang harus sadar bahwa setiap suku memiliki budaya yang berbeda dan itu adalah keniscayaan yang tidak bisa dibantahkan karena budaya tersebut merupakan jati diri yang membedakan ciri khas suatu daerah dengan daerah yang lain. Akan tetapi semua itu membutuhkan pemahaman dan pengorbanan untuk meleburkan jati dirinya yang berbeda-beda itu menjadi satu agar tujuan bersama dapat diraih demi kepentingan bangsa yang berdaulat dan masa depan anak cucu.
Kontek Aceh
Kerajaan Aceh lahir pada tahun 1514 M dengan rajanya yang pertama bernama Ali Muqhayat Syah. Kerajaan Aceh merupakan penggabungan dari beberapa kerajaan seperti Pasai, Pedir, Daya, Lamuri dan Darussalam. dalam berbagai literatur sejarah, sistim yang dibangun kerajaan Aceh mengganut sistim monarki dan berlandaskan hukum Islam. Sistem kepemimpinan dalam kerajaan Aceh selalu bersifat turun-temurun, proses tersebut terus berlangsung hingga kerajaan Aceh mengalami masa kehancuran pada tahun 1903.
Memang  secara de facto dan de jure tidak pernah ada dalam literatur sejarah yang menyebutkan bahwa Aceh adalah kerajaan pertama yang mempelopori semangat nasionalisme di dunia khususnya dan di Nusantara pada umumnya. Akan tetapi menurut hemat penulis bahwa Aceh adalah daerah pertama yang semestinya diberi gelar sebagai pelopor yang merumuskan konsep nasionalisme. Hal ini dapat dipahami ketika kerajaan Aceh mendapat tekanan dari Portugis pada abad ke 16 M yang ingin menjadikan Nusantara dan Malaka sebagai daerah jajahanya. Untuk menyelamatkan kerajaan-kerajaan kecil yang bertetangga dengan kerajaan Aceh, seperti kerajaan Pedir, kerajaan Pasai dan Daya maka sultan Aceh yaitu Ali Muqhayatsyah mengajak kosolidasi kepada raja yang bersangkutan tersebut untuk bergabung dibawah sutu payung serta bernaung dibawah kerajaan Aceh Darussalam. Hal tersebut untuk menjalin suatu kekuatan dan memperjuangkan misi bersama dalam rangka mengusir musuh bubuyutan yang ketika itu ingin mengeruk hasil kekayaan alam yang ada di daerah Aceh.
Dengan melihat devinisi nasionalisme diatas, maka tidak berlebihan jikalau Aceh disebut sebagai kerajaan yang pertama sekali menjunjung tinggi nasionalisme. Bahkan dari berbagai peperangan yang berlalu di Aceh, seperti peperangan melawan Portugis (1514), Belanda (1873-1903), pembrontakan DI/TII (1953-1962) serta pemberontakan GAM (1976-2005) Aceh selalu menggunakan semangat nasionalisme sebagai alat pemersatu dalam menggalang kekuatan untuk mewujudkan suatu tujuan bersama. Para pejuang aceh yang terdiri dari berbagai macam kalangan ada yag berpropesi sebagai petani, nelayan, intektual dan ulama, mereka bagaikan organ tubuh yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. layaknya tubuh manusia, satu anggota yang tersakiti maka anggota tubuh yang lain akan turut merasakanya. Begitu juga dengan kekompakan yang mereka jalin dalam melakukan pergerakan untuk memperjuangkan Aceh. Mereka tidak pernah memandang perbedaan meskipun terdiri dari berbagai latar belakang tempat asal dan suku. Ada yang dari suku gayo, suku alas, suku jame, tamiang, dan sebagainya. mereka menjadikan keberagaman suku tersebut sebagai suatu keindahan dalam rangka mengsukseskan perjuangan mereka. Atas kekompakan dan semangat nasionalisme yang mereka jalin inilah Portugis merasa segan apabila berhadapan dengan Aceh, Belanda merasa takut dan berfikir panjang untuk menyerang Aceh, bahkan seorang serjana Belanda yang bernama R.A Kern dengan karyanya Aceh Moorden menyebutkan “Aceh gila” (Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah Dalam Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Khazanah Pustaka Indonesia, 2002). Yang maksudnya bahwa orang Aceh sulit untuk ditaklukkan. Bahkan pemerintah Indonesia sekalipun turut memikirkan hal yang sama.
Dalam kontek hari ini yang sudah terbebas dari penjajahan baik oleh penjajah Eropa maupun pemerintah pusat, Aceh memiliki tiga belas suku yaitu suku Aceh, Aneuk Jamee, Singkil, Devayan, Gayo. Alas, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, Kluet, Tamiang dan Nias. Serta memiliki empat belas bahasa yaitu Aceh, Aneuk Jamee, Singkil, Devayan, Gayo. Alas, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, Kluet, Tamiang, Nias dan Indonesia. Namun bahasa yang dianggap resmi dan diakui sebagai bahasa nasional adalah bahasa Indonesia. Meskipun sudah memiliki status otonomi daerah, akan tetapi belum pernah ada deklarasi yang mengharuskan bahwa bahasa Aceh adalah bahasa wajib bagi seluruh masyarakat yang ada di Aceh. Dalam hal bahasa ini, pemerintah Aceh sangat menyadari akan kemajemukan suku yang ada di Aceh sehingga dengan kesadaran tersebut, memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan ini merupakan pilihan yang bijak dan sangat arif.
Kita patut berbangga dengan kondisi Aceh yang majmuk, namun kemajemukan juga sangat rawan terjadi pertikaian, bahkan peristiwa Sara, Poso dan lain-lain di berbagai daerah itu dipicu oleh kondisi kemajemukan. Tidak menutup kemungkinan peristiwa ini akan terjadi di Aceh. Kita berharap agar setiap petinggi yang ada di Aceh baik itu eksekutif maupun legeslatif harus memahami kondisi budaya ini dengan serius. Bila tidak maka akan dapat merusak ketahanan nasionalisme yang selama ini telah dibangun oleh indatu (nenek moyang) kita dengan keringat dan darah. Untuk menjaga perdamaian Aceh sebaiknya masyarakat biasa, legeslatif, dan eksekutif harus memahami betul akan kondisi budaya tersebut. Kedamaian Aceh akan terwujud bukan dari deskriminasi tetapi toleransi dengan menghargai berbagai macam suku.

Sekum Himmpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (HMJ-ASK) Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry. Dan peneliti Bidang Sejarah LSM Nagan Initiative


Cp. 085260230020

WAJAH BARU ACEH

Oleh: Suriadi



Jam 18.00 waktu Indonesia bagian barat, merupakan luang waktu senggang yang sering digunakan oleh masyarakat Aceh untuk berkumpul dengan sanak saudara (family). Kebanyakan dari kalangan orang tua dan anak muda mempergunakan waktu tersebut menyaksikan berita di TVRI Aceh, dalam rangka untuk memahami kondisi dan situasi Aceh yang telah diliput oleh wartawan. Begitu juga dengan penulis.
Dalam siarannya mengenai daerah provinsi termiskin di Indonesia, Aceh menepati peringkat ke tujuh, berikut ini hasil laporan sepuluh provinsi termiskin di Indonesia menurut data dari BPS nasional yaitu Papua Barat 36,80 %, Papua 34,88 %, Maluku 27,74 %, Sulawesi Barat 23,19 %, Nusa Tenggara Timur 23,03 %, Nusa Tenggara Barat 21,55 %, Aceh 20,98 %, Bangka Belitung 18,94 %, Gorontalo 18,70 %, Sumatera Selatan 18,30 %. Sementara untuk lima daerah kabupaten termiskin di Provinsi nanggroe Aceh Darussalam menurut data BPS daerah posisi pertama diduduki oleh Nagan Raya. Penyebab dari kemiskinan tersebut karena penggarapan lahan yang dilakukan oleh PT Swasta terhadap tanah yang ada di Nagan Raya dalam skala yang sangat luas. Pemerintah memberi peluang HGU untuk perkebunan swasta dalam skalanya terlalu tinggi, Sehingga mengakibatkan masyarakat kesulitan untuk mendapatkan lahan, yang pada akhirnya mau tidak mau masyarakat harus bekerja di perkebunan-perkebunan swasta tersebut sebagai buruh. Disamping itu, dikalangan masyarakat yang berprofesi seperti petani padi yang terdapat di Beutong dan Senagan Timur, masih terkendala dalam hal infrastruktur, sehingga masyarakat tersebut harus mengolah secara tradisional atas hasil panenya.
Posisi keempat di duduki oleh Aceh Singkil, yang permasalahanya sama seperti kabupaten Nagan Raya di atas. Posisi ketiga diduki oleh kabupaten Bener Meriah, yang rata-rata berprofesi sebagai petani kebun kopi. Akses transportasi menuju ke Bener Meriah masih sangat memprihatinkan, Disana sini masih kita jumpai jalan-jalan berlubang, sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk memasarkan hasil tanamanya keluar daerah. Padahal secara mutunya, kopi yang ada di bener meriah merupakan suatu komuditi yang langka dan pemasaranya bisa di ekspor ke berbagai Negara kalau dikelola dengan baik. Kemudian dari itu, masalah infrastruktur juga salah satu penyebabnya. Dimana masyarakat hanya melakukan proses pengolahan kopi secara tradisional, sehingga menyebabkan masyarakat mengalami kendala dalam mempercepat proses pengolahan kopinya.
Daerah kedua diduki oleh kabupaten Aceh Barat dengan ibu kotanya Meulaboh. Penyebab utamanya adalah banjir, seperti yang terjadi di kecamatan woyla yang tidak pernah absen dalam setiap tahun. Peristiwa ini dikarenakan pemerintah setempat menurut siaran TVRI pada tanggal 23 februari 2011 kurangnya perhatian untuk membangun sarana irigasi. Sehingga waktu hujan mengguyur air selalu naik kepermukaan persawahan dan kampung-kampung penduduk. Disamping menyebabkan kerugian dibidang materil seperti perabot rumah tangga, masyarakat juga mengalami kegagalan panen, karena setiap hasil panen selalu terancam oleh kondisi tersebut.
Sedangkan posisi kesatu diduduki oleh Pidie Jaya yang ibu kotanya Beureunum. Di Pidie Jaya penyebab terjadinya kemiskinan diakibatkan oleh areal perkebunan masyarakat yang terlalu sempit, sehingga masyarakat harus mengola areal yang sempit tersebut untuk berbagai macam kebutuhan. Kodisi ini sangat memperihatinkan karena hasil yang didapatkan dari mengelola areal kebun tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan yang di harapkan dalam menopang kebutuhan rumah tangga.
Mengutip pendapat Bustami Abubakar, M.Hum dengan artikelnya “Pembangunan Model Of”(serambi 17/02/2011). Itu semua diakibatkan oleh kondisi pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah selama ini bersifat dari atas kebawah. Dimana pemerintah hanya melakukan berbagai macam pogram bedasarkan pelaksanaan diatas meja serta hanya melihat setiap permasalahan dari sudut kacamata sendiri. Akan tetapi tidak melihat langsung apa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang sesuai dengan lingkingan geografisnya.
Cukuplah yang sudah terjadi selama ini menjadi pengalaman, untuk kedepan Aceh harus memiliki wajah yang baru. Dan untuk mewujudkan wajah yang baru tersebut masyarakat Aceh sebagai objek dari pemerintah harus memiliki sikap Pemberontak, Kahlil Gibran seorang sastrawan dari Libanon pernah berkata bahwa jiwa itu terbagi kepada dua karakter. yaitu karakter pemberontak dan karakter statis (Nurchalis Sofyan, Semangat Pemberontakan Kahlil Gibran, Banda Aceh: Ar-Raniry Press.2006). Karakter pemberontak ialah masyarakat yang tidak menerima kenyataan yang berlaku dengan apa adanya, karena manusia mempunyai kehendak untuk merubah realita. Sedangkan karakter statis ialah masyarakat yang menerima kenyataan yang berlaku dengan apa adanya. Bagi masyarakat yang memiliki karakter ini  bahwa yang terjadi tidak dapat diubah.
Memberontak yang penulis maksudkan dalam bentuk revival (bukan dengan kekerasan) akan tetapi dengan pikiran yang kritis Yaitu berusaha melawan kenyataan yang terjadi karena bertentangan dengan keinginan jiwa atau tidak sesuai dengan apa yang dinginkan. Refleksi sikap memberontak ini terjadi pada masyarakat yang sering diabaikan dan kurang mendapat perhatian baik oleh penguasa maupun Negara. Jadi warga masyarakat sebagai individu tidak boleh pasrah pada kenyataan. Masyarakat harus kritis dalam menyikapi setiap persoaalan yang terjadi. Sama-sama mengawasi atas segala kebijakan dan setiap pogram yang direncanakan oleh pemerintah, masyarakat harus berperan aktiv dalam setiap proses pembangunan. Disamping itu al-qur’an juga telah menjelaskan “Allah tidak akan merubah nasip seorang kaum kecuali dia sendiri yang merubahnya”.
Mengingat kondisi Aceh hari ini, timbul pertanyaan siapa yang bersalah? Pemerintahkah atau masyarakatkah yang kurang cerdas dalam memilih pemimpinya? Dan itu adalah tanggung jawab dari seluruh masyarakat. Semoga dalam pemilu 2011 ini yang tinggal menghitung bulan masyarakat tidak salah lagi dalam menempatkan pilihanya kepada seseorang yang akan diberi legitimasi, baik untuk calon gubernur maupun calon bupati. Pilihan kita sangat menentukan untuk perkembangan lima tahun Aceh yang akan datang, karena penyesalan diakhir tiada berguna. Tentu kita semua tidak berharap sebagai mana pepatah lama mengatakan “nasi telah menjadi bubur”. Masyarakat harus cerdas, karena kapal Aceh akan selamat apabila yang menjadi nahkoda terseut adalah orang-orang yang cerdas terutama intelektal muda.
Semoga apa yang terjadi hari ini bisa menyadarkan pemerintah dan menjadi kontribusi buat masyarakat serta calon pemimpin Aceh dimasa yang akan datang. Karna daerah yang maju bukan dilihat dari kesuburan politiknya akan tetapi diukur dari tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Apalagi mengingat kondisi otonomi yang hanya tinggal belasan tahun, kalau rakyat dan pemerintah Aceh belum sadar, mau kapan lagi? “


(Gambar : By Google)

Sekum Himmpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (HMJ-ASK) Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry. Dan peneliti Bidang Sejarah LSM Nagan Initiative



Konflik Ulama Dan Uleebalang Pada Masa kolonialisme Belanda Di Aceh ”Sebuah Realitas Sosial”

Oleh: SURIADI, SY

Sebagaimana yang terdapat dalam teks-teks sejarah, bahwasanya pada masa Belanda berkuasa di Aceh pada tahun (1903-1942 M ) terdapat konflik antara Ulama dan Uleebalang. Maka dalam tulisan ini penulis ingin melukiskan peran Ulama dan uleebalang dalam masyarakat Aceh sebelum masuknya Belanda. agar kita dapat menarik benang dari asal usul permasalahan supaya kita menemukan titik temu dari penyebab konflik tersebut. Dalam birokrasi tradisional di Aceh, ada tiga jabatan tinggi dalam pemerintahan yang paling berperan. Pertama Sultan, yaitu Raja dalam kerajaan, yang kedua Uleebalang sebagai kepala negeri (negri bagian seperti di negeri Pedir, Pasai dan Mereuhom daya) namun tetap berpayung dan tunduk dibawah kekuasaan tinggi kerajaan Aceh Darussalam. Yang ketiga ulama, yaitu kadhi malikul adil (yang mengurus hukum Islam) dan penasehat bagi sultan maupun uleebalang dalam setiap pengambilan keputusan, dan kebijakan. baik itu mengenai kebijakan social kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan sebagainya. mengenai Panglima Sagoee, Mukim, dan Geuchik, mereka hanya aparatur pemerintah yang berada dibawah uleebalang yang mengatur wilayah-wilayah kecil seperti halnya camat dan kepala desa sekarang. Ulama merupakan penasehat bagi pemimpin, Tampa adanya restu dari ulama para pemimpin tidak bisa menjalankan sebuah kebijakan, apalagi mengenai urusan agama, baik syariat, hukum memutuskan perkara (pengadilan) dan sebagainya yang berhubungan dengan agama. Peran ulama dan pemimpin dalam kerajaan tidak bisa di pisahkan. Apalagi kerajaan aceh merupakan kerajaan Islam kelima yang pernah tercatat dalam sejarah kerajaan Islam terbesar di dunia, jadi disini jelaslah tergambarkan bahwa ulama memiliki peran yang tinggi ataupun setingkat dengan pemimpin-pemimpin dalam menjalankan roda-roda pemerintahan. Sehingga lahirlah sebuah pepatah yang biasa kita dengar dalam hadist maja “ Hukom ngen adat hanjeut cree lage zat ngoen sifeut”.

Mengutip pendapat Drs. Fauzi Ismail, M. Hum dalam bukunya “ kedudukan Ulama & Umara dalam masyarakat Aceh”. Kata  Ulama berasal dari bahasa Arab yaitu jamak dari kata “Alim” yang berarti orang yang mengetahui atau orang yang berilmu pengetahuan atau para ahli ilmu pengetahuan. Di dalam Hadist juga dikatakan “Al ulama warisatul ambiya” ulama pewaris ambiyya. Jadi ulama merupakan seorang figur yang melanjudkan tongkat estafet Rasulullah SAW ketika beliau sudah tiada. Dengan menuju kepada peran dan tugas para Nabi, Qurai Shihab berpendapat bahwa paling tidak terdapat empat peran dan fungsi yang harus di embani Ulama. pertama Tabliq (Q.S Al-maidah : 67). kedua Tabyin (Q.S an-Nuhlu : 44). Ketiga Tahkrim ( Q.S Al-baqarah : 213) dan keempat Ustwah (Q.S Al-ahzab : 21). Peran Tabliq ulama berkewajiban menyampaikan wahyu yang terdapat dalam al-qur’an dan hadist/ sunnah Nabi. Tabyin bertugas untuk menjelaskan tentang dogma Agama sesuai dengan semangat Islam dan mensosialisikanya kepada masyarakat. Takhrim memberi fatwa tentang hukum-hukum Islam yang terjadi dalam masyarakat supaya masyarakat mendapat sebuah kebenaran sesuai dengan ajaran Islam, maka sebagai rujukanya adalah ulama. Ustwah menjadi figur bagi ummat. Jadi ulama tidak hanya berfungsi dalam soal Religious namun termasuk juga dalam urusan Dunia sebagai pembimbing ummat agar ummat mengarah kepada kebaikan dan kesempurnaan dunia dan akhirat.

Dalam masyarakat Aceh ulama merupakan orang yang disegani karena ilmu yang dimilikinya sehingga menjadi contoh teladan yang memberi pendapat buat masyarakat untuk menanyakan berbagai permasalahan mengenai agama, yang mengambil keputusan dikala masyarakat melakukan perkara (hakim) dan urusan yang menyangkut kehidupan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Di dalam kerajaan aceh yaitu pada masa Ali mungqayatsyah ulama yang menjadi mufti yaitu Hamzah fansuri, masa Sultan Iskandar muda ulama yang menjadi mufti Syamsuddin as-sumantrani, Sultan Iskandar Tsani ulama yang menjadi mufti Nurdin Ar-Raniry dan Ratu Safiatuddin ulama yang menjadi mufti syekh abdu rauf As-Singkili. Semua mereka adalah ulama yang mempunyai tugas sebagai penasehat atau yang memberi bimbingan kepada raja dikala raja mengambil sebuah keputusan. Keputusan tersebut berlaku dalam segala bidang, baik dalam pemerintahan, pogram-pogram dan adat-istiadat. Disamping itu hubungan ulama di dalam masyarakat sangat dekat emosionalnya dari pada umara. Kedekatan tersebut di pengaruhi oleh ilmunya yang tinggi dan ulama juga lebih mengerti tentang keadaan masyarakat. Sementara kalau ditingkat desa, ulama berperan sebagai penasehat bagi pemimpin desa (gheuchik), yang memberi pendidikan/ guru agama buat masyarakat, yang mengatur pembagian zakat, yang menikahkan setiap pasangan ketika kawin, mendamaikan orang yang bertengkar juga sebagai orang yang memandikan mayyit dikala ada salah seorang dari warga masyarakat yang meninggal. Jadi kalau kita melihat dari peran ulama di atas, ulama sangat besar kewajibanya di bandingkan umara dalam hubungan sosial kemasrakatan. Dalam mewujudkan sebuah pembangunan atau urusan kesejahtraan masyarakat antara ulama dan pemimpin saling bekerja sama, hal ini dapat kita lihat pada ulama-ulama dalam abad ke 19. Dalam bidang pertanian yaitu Teungku Chik di pasi, Teungku di Bambi, Teungku Chik di Ribee dan Teungku di Trueng Campli, mereka ini telah membangun irigasi dan lueng  (saluran), sehingga areal persawahan di Pidie mendapat pengairan.

Mengenai Uleebalang, uleebalang merupakan raja di Negara-negara bagian. Seperti di kerajaan Daya, kerajaan Samudra Pasai, dan Pedir. Sebelum masuknya Belanda ke Aceh, sistem berokrasi pemerintahan memeliki corak sistem Negara bagian/ Otonom. Dimana Aceh terdiri dari Negara-negara kecil, seperti yang tersebut di  atas, namun tetap tunduk dan berada di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di banda Aceh. Uleebalang adalah wakil Sultan di Negerinya. Namun dalam posisi sebagai kepala Negeri, yang diterima secara turun temurun menurut adat ia merupakan raja di Negerinya. Dalam bidang tetentu ia mempunyai hak otonom yang seluas luasnya yang diserahkan kepadanya oleh sultan. Akan tetapi semenjak terjadinya hubungan dengan para pedagang eropa melalui perdagangan, para pedagang ini tidak saja berhubungan dengan sultan, melainkan juga ada yang berniaga langsung dengan raja-raja kecil di pantai utara dan barat. Kadang kala hubungan dagang itu terjadi antara saudagar Aceh dengan pedagang dari Barat. Dalam hal demikian para uleebalang berfungsi sebagai pemungut cukai. Memang secara de jure, uleebalang diangkat dengan surat pengangkatan ( Sarakata) dari sultan yang di bubuhi cap sikureung.  Sarakata ini dinilai tinggi bagi kedudukan dan dianggap sebagai sumber pelindungan dari uleebalang terhadap rakyatnya. Secara fungsi, dalam buku Perang Dijalan Allah, uleebalang bertugas menjalankan pemerintahan, politik dan juga pemilik modal dengan sebutan Peutua Pangkai yang meminjamkan uang kepada para petani melalui perantara yang disebut Peutua Seuneubok para uleebalang juga berdagang dengan luar negeri. Berdasarkan sarakata mereka bebas dalam import dan eksport barang-barang dari pelabuhanya. Namun lambat laun mereka menyalah gunakan sarakata yang diberikan sultan kepadanya. Uleebalang juga memaksa masyarakat untuk menjualkan lada-lada tersebut ke pihak nya dengan harga murah dan mereka menjualnya ke penang dengan harga lebih mahal. Secara tidak langsung ini meruapakan monopoli dagang terhadap masyarakat. mereka membuat masyarakat sangat menderita demi tercapainya kepentingan mereka.disamping itu mereka juga menjadi tangan kanan belanda dalam menumpaskan gerilyawan gerilyawan di aceh. Bahkan mereka memamaksa uleebalang-uleebalang yang masih memperjuangkan kemerdekaan untuk menyerah dan bergabung bersama belanda, seperti yang dilakukan Habib Abdurrahma. Bahkan dia juga mendapat tunjangan dari pemerintah hindia belanda senilai 12000 ringgit setahun. Bahkan dia juga yang mempengaruhi uleebalang lainya untuk membuka perdamaian dengan belanda dengan bayaran 60-70 ribu dolar dari pemerintah belanda. kaum uleebalang hanya duduk manis dan mendaatkan gaji setiap tahun tampa bekerja, sementara urusan dalam wilayah di serahkan sepenuhnya kepada belanda. sejalan dengan perkembangan waktu, gaji yang di berikan belanda kepada uleebalang rupanya tidak dapat memenuhi lagi taraf kebetuhan hidup, karena gaya hidup uleebalang ketika itu harus mewah, pasilitas yang lengkap (rumah besar, punya kendaraan dan sebagainya). Sasaran akhir untuk menutupi kebutuhan hidupnya para uleebalang memaksa masyararat untuk menyerahkan hasil pertanian kepada uleebalang, uleebalang juga berkuasa penuh atas sewa tanah masyarakat dan memaksa masyarakat untuk kerja paksa kepada pihak uleebalang. HAMKA yang datang ke Aceh pada tahun 1930 mengatakan, bukan lagi Belanda yang memaksa masyarakat untuk kerja paksa akan tetapi malah uleebalang sendiri yang tega melakukanya.
Melihat realita yang terjadi maka membuat ulama untuk mengambil tindakan yang tegas. Maka terjadilah pertentangan antara ulama dan uleebalang, Dan hal inilah diantaranya yang menjadi konflik antara ulama dengan pihak uleebalang. Namun dari itu, hal ini di perparah lagi dengan menyerahnya sultan terakhir Aceh yaitu sultam Muhammad mahmudsyah dan masuknya penjajahan Belanda pada tahun 1903, dimana Belanda memamfaatkan situasi ini supaya mendapat dukungan politik dari pihak uleebalang. Taktik yang dilakukan belanda diantaranya, yang pertama devide et imfera yang sering kita dengar dengan politik belah bambu. Di satu pihak Belanda memberi kebebasan bagi kaum uleebalang untuk mengatur segala macam urusan dalam negerinya, dan dipihak lain belanda menekannya ( kalangan ulama). Disamping itu uleebalang juga di beri jabatan yang tinggi dan kekuasaan yang penuh untuk mengatur sosial kemasyarakatan, di bidang ekonomi, poltik dan Agama. Maka lambat laun posisi ulama dalam urusan sosial kemasyarakatan semakin tersingkirkan dan uleebalang memegang kekuasaan penuh dalam mengatur negerinya dengan mengenyampingkan kalangan ulama. Nah disini hilanglah peran ulama sebagaimana terdapat dalam kerajaan Aceh dulu yang peranya sama dengan uleebalang. Memang pada permualaan penjajah Belanda masuk ke aceh, antara uleebalang dan ulama bersama-sama dalam rangka untuk mengusir penjajah tersebut. Namun karena tergiur oleh jabatan dan tawaran politik yang diberikan oleh Belanda kepada kalangan uleebalang, menyebabkan uleebalang untuk mendukung dan bergabung dengan pihak belanda yang akhirnya menyebabkan terjadinya perpecahan antara dua kubu itu sendiri “karu keu droe-droe”. Namun yang harus kita garis bawahi juga bukan berati semua uleebalang melakukan hal yang sama, karena ada juga sebagian uleebalang seperti Teuku chik meulaboh dan anaknya Teuku keudjruen muda yang tatap menentang pihak Belanda, bahkan mereka menentang belanda untuk menginjakkan kaki dan menaikkan benderanya di daerah Meulaboh.

Semoga warisan pribadi Teuku Chik Meulaboh dan anaknya Teuku Keudjrun Muda menjadi contoh buwat penguasa-penguasa di masa sekarang karena yang namanya jabatan dan finansial merupakan suatu hal yang sangat sensitive di kalangan masyarakat Aceh.


Penulis : Sekertaris Umum Pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan  Adab Sejarah Kebudayaan Islam (HMJ-ASK),Fak Adab IAIN Ar-Raniry, Darussalam Banda Aceh

Jumat, 28 Januari 2011

awal